Mungkin pernah kita menyimpan barang yang sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis dan mudah ditemukan dimana saja. Namun bagi kita amat sangat berharga. Sama-sama buku tulis, yang satu masih terbungkus plastik bening rapih dan bersih. Sedangkan yang satu lagi buku tulis berdebu, di bagian bawahnya terdapat bercak bekas kena air hujan, penuh coretan catatan semasa kuliah. Jika disuruh memilih bahwa salah satu dari buku tersebut akan dimusnahkan. Mana yang anda relakan untuk dimusnahkan? Sebagian kita mungkin bilang buku baru yang masih bersih saja. Lucu ya.
Sama-sama jam tangan, yang satu jam tangan original bermerk dan masih bersegel dengan harga diatas 1 juta rupiah. Sedangkan satunya lagi jam tangan plastik, hadiah naik kelas saat duduk di kelas 1 SMP, dikenakan setiap hari dari SMP sampai lulus kuliah masih berfungsi dengan baik. Relakah kita tukar jam plastik tersebut dengan jam tangan bermerk tersebut? Sebagian kita mungkin bilang tidak rela. Lucu ya.
Setiap kita memiliki kisah dan cerita dalam hidup. Makna dari kisah-kisah itu tersemat ke dalam berbagai wujud benda-benda yang mengiringi cerita kita. Nilai-nilai historis yang hendak dikenang-kenang secara begitu saja terikat dalam benda-benda yang sebetulnya biasa saja. Dan hebatnya benda-benda biasa tersebut menjelma menjadi amat berharga dan mengikat kita secara emosional.
Begitu pun saya. Gambar diatas hanya sebuah sepeda motor. Bukan barang antik. Jumlahnya banyak dipasaran. Namun memiliki ikatan emosional yang mendalam bagi saya. Mengapa? Karena motor tersebut pemberian dari almarhum Bapak. Hal tersebut menjadikan motor tersebut bukan sekadar motor. Ia menjadi sebagai prasasti bagi seorang anak yang ingin mengenang-kenang kebaikan orang tuanya.
Allahummagh firli wali walidaya war hamhuma rabbayani shaghiran